Restaurants

6/recent/ticker-posts

Kisah Dibalik Lahirnya Qasidah Burdah

 

Kisah Dibalik Lahirnya Qasidah Burdah


Kisah ini berpusat pada pengarangnya, seorang penyair agung dari Mesir bernama Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Sa’id al bushiri, atau lebih dikenal sebagai imam al-Bushiri (1211-1294 M). Beliau adalah seorang sastrawan dan kaligrafer ulung yang hidup dibawah naungan Dinasti Mamluk

Suatu ketika, Imam al-Bushiri diuji oleh Allah SWT dengan penyakit yang sangat berat. Beliau menderita *faalij*, yaitu kelumpuhan pada separuh tubuhnya (stroke). Penyakit ini membuatnya tidak berdaya, tidak bisa bergerak, dan sangat bergantung pada orang lain. Berbagai tabib dan metode pengobatan telah diupayakan, namun tak kunjung membawa kesembuhan. Dalam keputusasaan dan penderitaan inilah, titik balik hidupnya terjadi.

Titik Balik : Mencurahkan Kerinduan dalam Syair

Di tengah kelemahannya, Imam al-Bushiri menyadari bahwa satu-satunya harapan yang tersisa adalah memohon pertolongan langsung kepada Allah SWT melalui perantara (wasilah) yang paling dicintai-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW.


Dengan segenap kekuatan yang tersisa, didorong oleh rasa cinta dan kerinduan yang mendalam kepada rasullullah, beliau mulai menggubah sebuah syair. Beliau mencurahkan seluruh isi hatinya ke dalam untaian kata-kata, memuji akhlak, kemuliaan, perjuangan, dan mukjizat Nabi Muhammad SAW. Setiap bait ia tulis dengan ketulusan, air mata, dan harapan besar akan *syafaat* (pertolongan) dari sang Nabi. Syair inilah yang nantinya akan dikenal sebagai Qasidah Burdah.

Puncak Kisah : Mimpi yang Membawa Mukjizat

Setelah selesai menyusun qasidah tersebut, dalam kedaan lelah dan pasrah, Imam al-Bushiri pun tertidur. Dalam tidurnya, beliau bermimpi suatu mimpi yang sangat indah. Beliau bertemu langsung dengan Baginda Nabi Muhammad SAW.

Didalam mimpi itu, Imam al-Bushiri membacakan syair-syair pujian yang baru saja ia karang dihadapan Rasulullah. Sang Nabi mendengarkannya dengan saksama sambil tersenyum, menunjukkan keridhaan dan kebahagiaan beliau atas karya tulus tersebut.

Setelah Imam al-Bushiri selesai, Rasulullah SAW melakukan dua hal yang menjadi inti dari mukjizat ini :

1.     Mengusap tubuhnya : Beliau dengan penuh kasih sayang mengusapkan tangannya yang mulia ke bagian tubuh Imam al-Bushiri yang lumpuh.

2.     Memberikan Jubah (Burdah) : Rasulullah SAW kemudian melepaskan jubah (dalam bahasa arab disebut ”Burdah”) yang sedang beliau kenakan dan menyelimutkan ke tubuh Imam al-Bushiri.

Kesembuhan dan Tersebarnya kabar

Seketika itu, Imam al-Bushiri  terbangun dari tidurnya.

Ia merasakan keajaiban yang luar biasa. Seluruh tubuhnya bisa digerakkan, rasa sakit dan lumpuh yang dideritanya hilang sama sekali. Ia sembuh total atas izin Allah SWT.

Penuh rasa syukur, beliau keluar dari rumahnya di pagi hari. Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang alim  (orang berilmu) yang saleh. Orang itu menghentikannya dan berkata, ”Wahai Imam, berikan padaku qasidah yang engkau gubah untuk memuji Rasulullah tadi malam.

Imam al-Bushiri terkejut, karena ia belum menceritakan kepada siapa pun perihal syair dan mimpinya. Ia bertanya, ”Qasidah yang mana? Aku telah menulis banyak pujian untuknya.

Orang saleh itu menjawab, “Qasidah yang diawali dengan syair ‘amin tadzakkuri jirânin bi dzi salami", aku mendengarkanya tadi malam dibacakan di hadapan Rasululah SAW, dan beliau terlihat sangat menyukainya”.

Kemudian Imam al-Bushiri memberikannya. Setelah itu, banyak orang mengambil berkah darinya sekaligus menjadikannya sebagai wasilah untuk kesembuhan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Baijuri, bukan berarti memohon keselamatan dan kesehatan dengan lafal-lafal yang ada dalam Qasidah Burdah dan menganggapnya memiliki otoritas untuk menyembuhkan penyakit, namun murni bertawassul kepada Rasulullah saw dengan perantara Qasidah Burdah. Lebih lanjut Imam al-Baijuri menegaskan:

 أَصْبَحَ النَّاسُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِهَا وَيَسْتَشْفِعُوْنَ بِهَا، عَلَى أَنَّ الْاِسْتِشْفَاءَ بِهَا لَيْسَ اسْتِشْفَاءً بِأَلْفَاظِهَا، وَاِنَّمَا هُوَ اِسْتِشْفَاءً بِرَسُوْلِ اللهِ

Artinya, “Banyak orang mengambil berkah Qasidah Burdah dan memohon syafaat dengannya, berdasarkan prinsip bahwa permohonan syafaat dengannya bukan dengan lafal-lafalnya, akan tetapi hupada hakikatnya adalah memohon syafaat dengan Rasulullah saw.” (Al-Baijuri, Syarhul Burdah, halaman 4).

Kelebihan qasidah yang satu ini dibandingkan dengan qasidah lain terletak dari cara penyusunannya. Imam Al-Bushiri tidak hanya menulis pujian-pujian yang ditunjukkan kepada Rasulullah saw dan peningkatan spiritualitas kepada Allah, namun juga menjelaskan kelahiran Rasulullah saw, mukjizat-mukjizat Al-Qur’an, nasab dan keturunan Rasulullah saw, mengingatkan manusia dari bahaya hawa nafsu, menceritakan Isra’ Mi’raj, menjelaskan jihad dan peperangan Rasulullah saw, juga menjelaskan tawasul dan permohonan syafaat, kemudian ditutup dengan munajat dan ungkapan perasaan hina di hadapan Allah swt.

Post a Comment

0 Comments